19 September 2025, 10:43

Pakar Kebijakan Publik: Keracunan MBG Bukan Insiden Teknis, tapi Kegagalan Desain Struktural

Hidayat menyoroti adanya faktor politisasi yang kemungkinan menghambat pengambilan keputusan korektif oleh pemerintah

Reporter: Redaksi Perspektif
Editor: Deden M Rojani
61
Pakar Kebijakan Publik: Keracunan MBG Bukan Insiden Teknis, tapi Kegagalan Desain Struktural
Presiden Prabowo Subianto saat melakukan pengecekan Program Makan Bergizi Gratis di sejumlah lokasi. / Doc: BPMI Sekretariat Presiden

JAKARTA, Perspektif.co.id – Rentetan kasus keracunan yang menimpa siswa sekolah akibat program Makanan Bergizi Gratis (MBG) di berbagai daerah bukanlah sekadar insiden teknis, melainkan cerminan dari kegagalan desain kebijakan yang fundamental. Pemerintah didesak untuk segera melakukan evaluasi total dan merombak arsitektur program sebelum jatuh lebih banyak korban.

Pandangan kritis ini disampaikan oleh Achmad Nur Hidayat, seorang ekonom dan pakar kebijakan publik dari UPN Veteran Jakarta. Menurutnya, pola kejadian yang terus berulang di berbagai wilayah, dari Garut hingga Banggai, menunjukkan adanya masalah sistemik yang tidak bisa lagi diabaikan.

Hidayat menegaskan bahwa akar masalah terletak pada desain program yang tergesa-gesa tanpa melalui uji coba yang memadai, diperparah oleh rantai distribusi yang terlalu panjang dan pengawasan yang lemah di tingkat daerah.

"Yang terjadi di Garut, Lamongan, Banggai, dan laporan menu basi di Surabaya menunjukkan pola kegagalan yang sama: desain kebijakan yang dipercepat tanpa uji coba memadai, rantai distribusi yang panjang, dan pengawasan yang tidak konsisten di tingkat lokal," ujar Hidayat dalam analisisnya, Jumat (19/9/2025).

Ia menganalogikan program MBG seperti obat baru yang langsung diedarkan secara massal tanpa uji klinis bertahap, sehingga risiko yang seharusnya bisa diidentifikasi sejak awal justru meledak menjadi krisis kesehatan publik. Model sentralisasi produksi pangan melalui Sentra Penyediaan Pangan Gizi (SPPG), menurutnya, secara inheren menciptakan jeda waktu yang panjang antara proses memasak dan konsumsi. Hal ini membuka celah besar bagi kontaminasi bakteri, terutama di daerah yang tidak memiliki sistem rantai dingin (pendingin) yang memadai.

Politisasi Program Hambat Evaluasi

Lebih jauh, Hidayat menyoroti adanya faktor politisasi yang kemungkinan menghambat pengambilan keputusan korektif oleh pemerintah. Program berskala besar seperti MBG sering kali diposisikan sebagai simbol pencapaian politik, sehingga mengakui adanya kelemahan atau masalah dianggap sebagai sebuah risiko citra.

"Padahal menunda koreksi demi menjaga citra justru memperpanjang dampak negatif: legitimasi kebijakan rusak ketika anak-anak menjadi korban. Keberanian mengubah desain program seharusnya dipandang sebagai wujud tanggung jawab, bukan pengakuan kegagalan," tegasnya.

Beberapa masalah struktural lain yang diidentifikasi termasuk standar higienitas yang tidak seragam, lemahnya kapasitas pengawasan di daerah, serta potensi konflik kepentingan dalam penunjukan pemasok yang mengesampingkan kompetensi teknis.

Solusi: Rombak Total ke Model Berbasis Komunitas

Sebagai solusi jangka menengah yang lebih berkelanjutan, Hidayat mengusulkan perombakan total atau re-design program MBG ke model berbasis komunitas sekolah. Ia meyakini, pendekatan ini jauh lebih aman dan efektif.

"Solusi jangka menengah yang lebih berkelanjutan adalah meredesain MBG berbasis komunitas sekolah. Kantin sekolah yang dikelola unit sekolah, koperasi orang tua, atau dapur sekolah berstandar higienis—dengan dukungan teknis dan subsidi dari pemerintah—menawarkan keuntungan nyata," jelasnya.

Keuntungan model ini, lanjut Hidayat, antara lain memangkas rantai distribusi sehingga makanan lebih segar, memungkinkan pengawasan langsung oleh guru dan orang tua, serta memberdayakan ekonomi lokal melalui keterlibatan usaha katering setempat.

Untuk mewujudkan hal tersebut, ia merekomendasikan pemerintah untuk segera menjalankan proyek percontohan (pilot project) yang terukur di setidaknya enam kabupaten dengan karakteristik geografis yang berbeda (perkotaan, pesisir, dataran tinggi). Hasil dari proyek percontohan inilah yang harus menjadi dasar untuk penerapan skala nasional.

"Niat baik tidak cukup; pelaksanaannya harus berbasis bukti, standar, dan tata kelola yang solid. Pemerintah harus berani menarik pelajaran dari kegagalan dan merombak model bila bukti menunjukkan risiko," pungkasnya.***

Berita Terkait